Iran di Ambang Perang, Dunia di Ujung Perdagangan Gas dan Dolar
Oleh: [daddy palgunadi pengamat Geopolitik YBGR]
Ketika misil meledak di langit Iran dan suara bom mengguncang situs-situs nuklir, dunia melihat lebih dari sekadar konflik regional. Apa yang tengah terjadi di Timur Tengah hari-hari ini bukan sekadar upaya pencegahan nuklir — ini adalah pertarungan global memperebutkan kekuasaan atas energi, mata uang, dan tatanan dunia.
Amerika Serikat dan Israel menuding Iran sebagai ancaman keamanan. Tapi di balik layar diplomasi dan propaganda, video-video yang beredar menyajikan narasi berbeda: bahwa ini adalah ulangan sejarah—di mana perubahan rezim selalu mengikuti jejak minyak, gas, dan mata uang non-dolar.
Pola Lama, Target Baru
Iran (1953), Irak (2003), Libya (2011)—semua berbagi satu pola. Ketiganya pernah mencoba lepas dari ketergantungan terhadap dolar AS, entah dengan menasionalisasi minyak, menjual energi pakai euro, atau menciptakan sistem keuangan baru berbasis emas. Dan hasilnya? Intervensi militer, kekacauan, dan pemimpin mereka digulingkan dengan alasan yang terdengar mulia: “demokrasi” atau “senjata pemusnah massal”.
Kini Iran, dengan 16% cadangan gas alam dunia, menjadi target berikutnya. Dengan populasi besar, posisi strategis, dan hubungan erat dengan Tiongkok dan Rusia, Iran terlalu besar untuk dibiarkan lepas dari orbit AS.
Rusia dan Tiongkok Tak Akan Tinggal Diam
Apa yang membuat konflik kali ini berbeda adalah sikap Rusia dan Tiongkok. Vladimir Putin secara terbuka menyatakan kesiapan berperang jika rezim Iran digulingkan. Ini bukan sekadar dukungan politik — ini adalah taruhan ekonomi miliaran dolar per hari. Jika Iran jatuh ke tangan pro-Barat, maka cadangan gasnya bisa menggantikan Rusia sebagai pemasok utama Eropa.
Bagi Rusia, ini bukan soal solidaritas ideologis. Ini soal survival ekonomi dan diplomasi energi.
Di Mana Indonesia Berdiri ?
Pertanyaannya: apa sikap Indonesia? Diam seperti biasa, atau membaca peluang strategis?
Idonesia, sebagai negara nonblok dan pemimpin dunia Muslim, punya modal moral dan diplomatik untuk memainkan peran dalam peta ini. Bukan untuk memihak secara militer, tapi memainkan politik cerdas: memperkuat hubungan energi dengan Rusia atau Iran, meminta kompensasi investasi untuk dukungan di forum internasional, serta mendorong tatanan dunia yang lebih adil dan multipolar.
Dengan pendekatan pragmatis, Indonesia bisa memperoleh akses teknologi kilang, kerja sama pertahanan siber, hingga diversifikasi cadangan energi. Dunia sedang mencari poros baru, dan Indonesia tak boleh terus jadi penonton.
Penutup: Dunia di Ujung Perang Dingin Baru
Konflik Iran bukan hanya soal nuklir, tapi soal gas, dolar, dan siapa yang mengendalikan jalur energi masa depan. Bagi AS, ini tentang mempertahankan dominasi mata uang dan pasar. Bagi Rusia dan Tiongkok, ini tentang bertahan hidup di dunia pasca-unipolar. Bagi Iran, ini tentang eksistensi.
Bagi Indonesia? Ini bisa jadi ujian kecerdasan diplomatik — atau sekadar bab berikutnya dari keheningan yang mahal.
Karena dalam geopolitik, yang tak bersuara bukan berarti netral — bisa jadi sedang kehilangan kesempatan.







Komentar